Sesuatu telah memanggil saya untuk menuliskan ini; sesuatu yang sebenarnya pernah saya tulis, tapi terlalu singkat dan tidak membawa informasi baru apapun. Berbeda dengan beberapa tempat di Internet yang menuliskan cerita tentang radio ini dengan isi yang kalo tidak persis sama, isinya hanya dimodifikasi di sana sini – saya meniatkan menulis ini dengan khusus berkunjung langsung ke lokasinya, bertanya ke sana kemari, memotret, dan tentu saja dengan apapun yang bisa saya temukan di Internet.
Sebelumnya, saya mencoba untuk mereka-reka bagaimana jalan yang harus saya tempuh ke Pangalengan. Persisnya adalah di tempat yang sekarang menjadi area perkemahan yang letaknya di kaki gunung Puntang itu. Dengan menggunakan Google Earth segalanya menjadi mudah, apalagi sudah ada foto-foto dari Panoramio yang diintegrasikan ke beberapa titik. Saya agak kaget dan girang karena menemukan penanda lokasi Radio Malabar yang sangat khas: kolam cinta itu. Sebuah kolam yang dulu terletak tepat di depan bangunan Radio Malabar, yang kini dijuluki kolam cinta karena bentuknya yang mirip hati, terlihat dengan sangat jelas menggunakan Google Earth pada latitude-longitude 7°6’58.61″S dan 107°36’22.26″E :RMGE
Sebagai perbandingan, ini adalah foto Radio Malabar (salah satu dari koleksi Museum Tropen di Belanda) yang cukup jelas memberikan gambaran tentang kolam yang ada di depannya :
COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Het_gebouw_van_het_Gouvernements_Radio_Station_Malabar_TMnr_60011491
Wikipedia sudah cukup menjelaskan sejarah radio ini. Namun baik versi Inggris maupun Indonesianya nampaknya tidak lengkap. Saya bisa mengatakan ini karena seseorang telah menuliskan warisan peninggalan informasi dari Klaas Dijkstra, seorang warga Belanda yang bekerja dari tahun 1920 hingga 1945 di Radio Malabar sebagai teknisi yang merakit pemancar. Wikipedia menyebutkan bahwa yang digunakan di Radio Malabar adalah peralatan dari Telefunken, namun situs tersebut mengatakan bahwa sebelum itu yang digunakan adalah Pemancar Ark buatan Poulsen yang dibeli oleh Dr. de Groot (pendiri Radio Malabar) di Amerika pada tahun 1917, dalam perjalanannya kembali ke Indonesia dari Belanda (yang dengan alasan keamanan harus berputar sehingga bisa mampir ke Amerika).
Sayangnya justru pada upacara peresmian stasiun pemancar ini tanggal 5 Mei 1923, pemancar Ark buatan Poulsen itu gagal berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak ada keterangan pasti tentang mengapa itu bisa terjadi, tapi Wikipedia mengatakan bahwa penyebabnya adalah sambaran petir, sehingga upacara peresmiannya harus ditunda (Jadi persisnya peresmian itu kapan ?). Sebelumnya sebenarnya pemerintah Belanda telah membeli dua peralatan pemancar buatan Telefunken pada akhir tahun 1918. Satu dipasang di Belanda, di Kootwijk Radio dan satu lagi diinginkan pemerintah Belanda ketika itu dipasang di Malabar. Tapi Dr. de Groot bersikeras dengan pendiriannya untuk tetap memasang pemancar Ark-Poulsen-nya itu, sehingga sempat terjadi ketegangan antara dia dan otoritas Belanda tentang hal ini di Hague. Ketika masa reparasi sedang berjalan, Dr. de Groot bahkan tidak berupaya untuk memasang peralatan dari Telefunken itu, padahal Ratu Wilhelmina ketika itu benar-benar menunggu pesan radio dari Indonesia.
Menurut informasi dari situs ini, Dr. de Groot meninggal pada 1 Agustus  1927. Tidak ada kejelasan apakah peralatan Telefunken itu akhirnya dipasang olehnya atau setelah ia meninggal. Yang jelas peralatan yang konon lebih efisien dari pemancar Ark Poulsen itu akhirnya memang digunakan di Radio Malabar. Bila dilihat dari spesifikasi tertulisnya, saya sepakat kalau memang pemancar Ark Poulsen itu tidak efisien. Bayangkan saja, daya yang dialirkan ke antena adalah sebesar 2400 kilowatt, sedangkan dari Telefunken hanya membutuhkan 400 kilowatt saja. Menurut ukuran sekarang ini, 400 kilowatt itu saja sudah besaran yang ‘gila’, tapi dilihat dari perbandingannya pada saat itu jelas Telefunken lebih hemat energi. Bahkan dikatakan lebih bisa diandalkan. Barangkali kita bisa memahami mengapa Dr. de Groot bersikeras dengan Poulsen karena dia sendiri yang membelinya di Amerika.
Ketika itu jelas belum ada GPS, entah apakah sudah ada altimeter, dan segala peralatan pendukung untuk menentukan lokasi. Tapi nampaknya memang ketika itu pengetahuan tentang geografi, navigasi, propagasi, dan transmisi gelombang sudah luar biasa memadai. Saya ingin mengatakan ini berkaitan dengan pertimbangan lokasi: “Mengapa pemancar ini mesti didirikan di lokasi yang begitu terpencil ?” Apakah karena memang kebetulan sebelumnya di tempat ini sudah ada Bosscha dengan perkebunan Malabarnya sehingga sejauh tertentu bisa memberikan dukungan infrastruktur, atau memang karena sebuah perhitungan tertentu ? Sebuah dokumen menyebutkan bahwa pada masa setelah Perang Dunia I, mode komunikasi radio yang dimungkinkan baru berupa telegrafi (menggunakan kode morse) dan itu hanya bisa dilakukan pada frekuensi dengan gelombang yang panjang. Untuk menentukan lokasi demi efisiensi transmisi jelas harus memperhitungkan macam-macam faktor di angkasa antara Indonesia dan Belanda (sejauh itu!), berkaitan dengan apakah sebuah transmisi mungkin mengalami skip (gelombang radio tidak terpantul kembali ke bumi dari lapisan ionosfer) atau bounce (kebalikannya, dipantulkan kembali ke bumi). Entah bagaimana persisnya menentukan, tapi saya kira Dr. de Groot mestinya mulai dari batasan kemampuan perangkat yang hanya bisa bekerja pada gelombang panjang, baru pada frekuensi kerja yang digunakan itu bisa efektif pada lokasi mana (tetap saja menjadi misteri mengapa lokasinya mesti di tempat seterpencil itu!). Tanpa menyebutkan sumbernya, sebuah situs menulis bahwa Radio Malabar ketika itu bekerja pada 49,2 Khz dengan panjang gelombang 6100 meter. Catu dayanya adalah sebesar 3,6 Megawatt (sebuah besaran yang tidak konsisten dengan data sebelumnya; pembangkit listrik kala itu nampaknya belum sampai hingga satuan mega). Anyway, soal pemilihan lokasi ini barangkali bisa dijadikan studi tersediri, meskipun mungkin kepentingan praktisnya tidak ada :)
Karena dibangun di lokasi terpencil dan memerlukan infrastruktur pendukung yang tidak sederhana, maka di sekitar Radio Malabar dibangun kompleks untuk para pekerjanya, lengkap dengan berbagai sarana pendukung. Kompleks itu dulu disebut Radiodorf atau dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Kampung Radio. Sebuah situs yang menamakan dirinya “A World of Wireless, Virtual Radiomuseum” telah ditutup pada tahun 2010 memuat gambarnya. Beruntung seseorang telah menyimpan gambar Radiodorf tesebut pada blognya :2200801393_275c81722c
2200801395_cbfbe8606eKarena adanya sarana akomodasi yang lengkap seperti itu, maka tempat yang berada di kaki gunung Puntang ini disebut juga oleh orang-orang sebagai negara Puntang. Saya lebih sepakat dengan rasionalisasi ini ketimbang adanya cukup banyak situs dengan isi 100 persen sama (coba search dengan “negara puntang” pada Google) yang mengatakan bahwa dulu pernah ada sebuah kerajaan dengan nama Negara Puntang, yang antara lain terbukti dengan adanya temuan (megalitik ?) berupa batu-batuan, yang dinamakan batu korsi, batu kaca-kaca, dan batu kompaan. Saya sempat tanya-tanya, tidak ada yang tahu tentang batu-batu itu. Kalaupun memang ada, bagaimana bisa diketahui pasti bahwa batu-batu itu berasal dari sebuah kerajaan di situ ? (saya akan ingat tentang ini dan akan saya selidiki kalau saya ke sana lagi).
Secara keseluruhan yang saya temukan berkenaan dengan Radiodorf adalah puing-puing dan semuanya benar-benar tidak memberikan makna sama sekali :IMG_1211
Tidak hanya itu, obyek utamanya sendiri, Radio Malabar, juga tinggal sedikit, seonggok sisa dindingnya :IMG_1234Ada beberapa versi tentang mengapa Radio Malabar dihancurkan. Ada yang bilang dibom oleh Jepang, dihancurkan oleh pribumi Indonesia sendiri, bagian dari kejadian Bandung Lautan Api, dan sebagainya. Sebuah plang di jalan masuk menuju areal perkemahan gunung Puntang nampaknya berusaha menjelaskan ini, tapi sayang sekali posisinya sungguh tidak tepat untuk dibaca, apalagi tulisannya sudah kusam dan terkena pantulan sinar matahari :IMG_1208Saya sudah memotret bagian per bagian plang ini dengan resolusi yang maksimal kamera saya (16 megapixel). Saya akan ketik ulang semua kata-kata di situ pada bagian kedua entri blog ini. Tentu saja dengan informasi lainnya lagi yang terkait.