kootwijkSejak selesai menulis bagian pertama, saya terus melakukan search di Internet. Saya menemukan cukup banyak informasi menarik dari beberapa situs di Belanda, yang belum pernah dituliskan siapapun dalam bahasa Indonesia. Untuk itu terpaksa saya harus baca teks dalam bahasa Belanda yang tidak mudah. Kemudian, karena saya juga mem-posting tulisan pertama ke grup Orari di Facebook, ada beberapa tanggapan yang akan melengkapi tulisan saya selanjutnya. Namun demikian terlebih dahulu saya akan menuliskan ulang apa yang ada di plang itu karena, mau tidak mau, itu satu-satunya informasi ‘resmi’ yang ada di Gunung Puntang tentang Radio Malabar.
Tidak bisa semuanya saya baca dengan baik, meski sudah saya potret dengan resolusi maksimal dan di zoom sedekat mungkin. Tulisannya sudah kabur karena cuaca dan hujan. Tapi sebagian besar bisa terungkap. Entah pembuat plang ini ceroboh atau tidak memeriksa ulang hasilnya. Ada bagian yang ditulis ulang sama persis. Bahasa Indonesia-nya pun tidak cermat. Berikut ini teks yang saya coba tulis itu. Saya tulis persis (termasuk bagian yang diulangi). Yang ada titik-titiknya menandakan bagian yang tidak bisa saya baca.
RADIO MALABAR – SKALA WAKTU – ZEITSKALA
Sumber Mr. Sugiono
1906. Cornelius Johannes de Groot kuliah …… Elektro di Universitas Karlsruhe / Jerman dan tamat dengan gelar Dipl.Ing.
1908. de Groot dikirim tugas ke Indonesia, awalnya pada dinas Telegraf, lalu pada dinas Radio PTT Bandung. Alasan, de Groot sejak umur 15 tahun menjadi amatir radio dan punya pengalaman praktek, bukan saja pada merangkit pesawat penerima sedangkan juga kepada merangkit pesawat pemancar.
1911. Di bawah pimpinan de Groot didirikan stasiun radio telegraf yang pertama di Indonesia, yaitu pada Sabang, Pulau Weh.
1913. ……. “Penelitian Komunikasi Radio langsung Belanda – Jawa” memohon lisensi dari Kementrian Kolonl Belanda dan dari Kementrian Perhubungan Laut Belanda. Permohonan tsb Pada April 1913 dikabulkan anggota panitia antara lain Prof. Ir. C. L. van der Bilt dan Laksamana van den Bosch.
1915. Kementrian Kolonl Belanda memberi tugas kepada perusahaan Telefunken untuk menyusun …… dari sebuah ….. radio ……….
Dengan itu ….. bahwa ……. bisa terrealisir. ….. langsung antara …. meliputi jarak …
1916. Telefunken membuat peralatan penerima yang akan dikirim ke Jawa untuk melakukan penelitian propagasi dan percobaan menerima sinyal yang terpancar dari Eropa (Nauen, Paris dll). Dari AS dipesan sebuah pemancar busur dengan daya 100-160kW yang bisa kerja pada frekwensi 43 – 50 Khz. Pemancar tersebut dikirim ke Bandung dan dipasang di dalam gedung awal di Malabar. Pada tahun 1918 pemancar tersebut sudah beroperasi.
Pembangunan antena bukit sementara …… pemancar itu akan ……. blokade selama …….. PD-I …. Dari Jawa …….. ke Honolulu ………. dari AS melintasi ………….
1917. Atas saran Dr. Ing N. Koomans, seorang perintis teknologi radio di Belanda – Mentri Koloni Belanda memilih teknologi alternator untuk merealisir sarana komunikasi radio dari Belanda dan Jawa, dengan memesan alternator (?) dari Telefunken dengan daya sebesar 800KW.
Dr. Ing. De Groot, kepala dinas radio di PTT Banding, punya pendapat lain. Dia lebih percaya pada teknologi pemancar sistem busur. Dia mengusul mendirikan pemancar busur dengan daya antara 2,4 s/d 3,6 MW, dengan sistem Poulsen. Pembuatan akan dilakukan dengan matril dan SDM lokal Bandung tanpa diperlukan pertolongan pihak (perusahaan asing) lain.
Wäh…sich der Hollandische Kolo..inister auf Anraten des Radiopioniers Dr. Ing N. Koomans fűr einen Maschinensender vom System Telefunken mit elner Leistung von ca. 800kW entschied.
Favorisierte Dr. Ing. De Groot den Bau eines wesenlich grőßeren.
Lichthogensenders von 2,4 bis 3,6MW nach dem System Poulsen in Eigenleistung.
Atas saran Dr. Ing N. Koomans, seorang perintis teknologi radio di Belanda – Mentri Koloni Belanda memilih teknologi alternator untuk merealisir sarana komunikasi radio dari Belanda dan Jawa, dengan memesan alternator (?) dari Telefunken dengan daya sebesar 800KW.
Dr. Ing. De Groot, kepala dinas radio di PTT Banding, punya pendapat lain. Dia lebih percaya pada teknologi pemancar sistem busur. Dia mengusul mendirikan pemancar busur dengan daya antara 2,4 s/d 3,6 MW, dengan sistem Poulsen. Pembuatan akan dilakukan dengan matril dan SDM lokal Bandung tanpa diperlukan pertolongan pihak (perusahaan asing)
Dengan kapal AL Belanda “Zeeland” diangkut pemancar alternator Telefunken yang kecil sebagai percobaan. Pemancar itu dipasang di stasiun radio di Cililin.. Sebagai antenna juga dipasang kawat antenna dari bukit ke bukit sepertinya sudah dilakukan di Malabar.
Dua gua dibuat di sekitar Radio Malabar untuk melindungi peralatan Radio dan Telekomunikasi lain dapat kena dibom oleh AU Jepang.
Percobaan pertama dilakukan pada gelombang 12km. Pada saat itu gedung kayu yang mengandung induktor antenna mulai kebakar. Sebab medan induksi memanaskan sekrub besi hingga membara.
Sebagai PL digunakan generator DC (600 A) dipinjam dari Tram Jakarta yang didorong oleh motor pesawat terbang Glenn Martin. Kedua peralat didirikan di luar gedung pemancar.
1918. Di stasiun Cililin pemancar alternator Telefunken yang kecil sudah beroperasi.
Telegram pertama diterima di stasiun Blaricum, terkirim dari Radio Cililin (alternator Telefunken) pada gelombang 6 km.
Dalam telegram tsb. Dilaporkan detail dari letusan Gunung Garut.
Berapa hari kemudian di Blaricum juga diterima sinyal test yang terpancar dari Radio Malabar dengan hasil baik.
1920. Radio Malabar dan Radio Cililin diterima jelas di Jerman oleh Telefunken di Geltow. Mereka menggunakan antenna sejenis seperti dikirim ke Indonesia.
Di Malabar digunakan jenis antenna yang baru. Daripada diantara 2 menara antenna itu terpasang diantara dua bukit gunung, diatas lembah – jenis antenna itu direferensikan sebagai Antenna Gunung.
Hingga saat ini, sebagai stasiun percobaan, di Radio Cililin berdiri Alternator berdaya sekitar 100kW.
Disini cuga dipergunakan jenis antenna gunung, walaupun dengan ketinggian hanya 150m (33-50% dari antenna Malabar).
1921. Pada gedung di Radio Malabar, fondasi lapisan bawah yang terdiri dari batu sisa ledakan, lapisan kedua yang terdiri dari beton yang diperkuat oleh besi, serta fondasi khusus untuk Alternator sudah selesai dubangun. Alas lantai atas dari beton, dimana akan terpasang para mesin-mesin, sedang dalam konstruksi.
1922. Dari Malabar mulai dikirim telegram pemerintahan untuk di rekam di stasiun penerima di Sambeck di Belanda. Tanda panggilan yang digunakan alternator Telefunken di Radio Malabar adalah “PKX”.
1923. Pemancar busur raksasa di Radio Malabar sudah beroperasi. Inti magnet besi berbobot 185 ton, kedua induktor medan magnetik berbobot 20 ton dan kamar busur dari perunggu berbobot 4 ton.
Sinyal yang dipancarkan dari Radio Malabar (dari pemancar busur maupun pemancar alternator) diterima dengan baik di Leiden.
Pesta peresmian sarana komunikasi radio Jawa – Belanda diselenggarakan di Malabar.
1925. Perhubungan Belanda – Jawa pertama melalui HF (gelombang kerja sekitar 42m).
1926. Didirikan “Bandoengsche Radio Vereeniging BRV”. ketua awal adalah I.G. Prins. (meliputi siaran radio umum, bukan telegram).
Percobaan awal oleh BRV (Radio lokal), studio berada di lantai atas dari percetakan “Vorkink” (TB Sumur Bandung).
Kemudian BRV dioperkan oleh NIROM (Nederlandsch Indische Radio Oemroep Maatschappij).
1927. Ratu Belanda berpidato melalui siaran radio kepada penduduk Belanda di Indonesia.
Untuk mengingat kepada peristiwa itu didirikan sebuah patung di Lapangan Citarum / Bandung. Patung itu dibongkar pad tahun 50an karena dianggap melanggar kesusilaan.
C.J. de Groot wafaat waktu berjalanan melalui Laut Merah ke arah eropa di atas kapal laut.
Sebagai kehormatan kepada C.J. de Groot dinamakan jalan di Bandung, yang sekarang Jalan Siliwangi.
Hancurnya Radio Malabar
1942. Beberapa saat sebelum pasukan Jepang masuk ke kota Bandung, para petugas Radio Malabar mengungsi ke Yogyakarta
Radio Malabar diserang oleh AU Jepang dengan bom.
Petugas PTT, C. van der Berg menghancurkan beberapa peralatan penting (di antaranya tabung) di stasiun Malabar. Dengan ini stasiun Malabar jatuh ke tangan Jepang walaupun dalam kondisi tidak siap operasi, tapi secara seluruhnya masih utuh. Setelah terjadi kapitulasi C. van der Berg ditugaskan untuk mereparasi kerusakan pada stasiun Malabar supaya siap operasi. Sejauh diketahui, selama berlangsungnya PD 2 reparasi itu tidak berhasil.
Kepala Radiolabor PTT Willem … Einthoven serta Ir. Henk Leis Levonbach Leunis dan Hasenstab ditangkap oleh Jepang dan dikirim ke Tokyo. Dijkstra serta keluarganya ditangkap oleh pasukan Jepang dan masuk penjara. Kepala Dinas Radio PTT Bandung, W. Einthoven juga ditangkap dan dimasukkan penjara di Jepang. Dia tidak kembali dari tawarannya.
Dijkstra serta keluarganya akhirnya dibebaskan dan berhasil pengungsi dengan kapal karet “de Oranje” ke arah Belanda pada akhir tahun 1945.
1945. Mesin-mesin yang ada di dalam stasiun Malabar dipindahkan ke stasiun radio pemancar di Dayeuh Kolot.
1946. Stasiun Radio Malabar dirusak total oleh pada Pejuang Indonesia.
Djaka Rubijanto mengabari: Saya pernah ekerja di Setasiun Radio Penerima Telkom di Rancaekek, Bandung. Salah seorang teman kerja saya yang lebih senior, H. Entang Muchtar (alm) sebelumnya pernah bekerja di Setasiun Radio Pemancar Malabar (Gn. Puntang), bercerita bahwa demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dia terpaksa menjalankan tugas untuk menghancurkan setasiun radio tersebut sebagai politik bumi hangus agar tidak dimanfaatkan oleh NICA (Nedelandsh indie Civil Administration). Maka anda kini hanya bisa melihat bekas-bekasnya belaka.
Jawatan PTT kemudian membangun setasiun radio pemancar pengganti di Dayeuhkolot Bandung. Adapun Jawatan Penerangan membangun stasiun radio RRI Bandung di tempat lain. Kisah tersebut juga ada di buku Her Suganda, ‘Jendela Bandung’.
Kepala Stasiun di Radio Malabar secara berurutan menjadi Mr. Noven, Mr. Srandenberg, Mr. Hodeski, Mr. Soedirdjo, Mr. Wino, dan terakhir Mr. Salim.

Kalau ada upaya serius untuk memperbaiki kawasan Gunung Puntang sebagai area wisata, saya pikir salah satunya adalah dengan membuat kembali plang ini. Foto yang menjadi latar belakang bisa diusahakan. Sementara tulisannya bisa direkonstruksi ulang berdasarkan apa yang sudah saya tulis di atas. Ini penting karena mau tidak mau Radio Malabar adalah bagian dari Gunung Puntang sebagai area wisata. Kalau tidak dalam bentuk plang, mungkin disediakan dalam bentuk fotokopian. Jangan sampai orang datang hanya sekedar menikmati alamnya atau kemping, tapi tidak tahu di situ pernah ada sebuah bangunan yang merupakan bagian dari sejarah perkembangan radio di dunia.
Sekarang, sebelum saya muat dan bahas foto-foto yang saya ambil kemarin, ada baiknya saya tuliskan masukan-masukan untuk tulisan sebelum ini. Selain itu juga beberapa tambahan lain yang relevan dari dokumen yang saya temukan sendiri kemudian :
  1. Di depan bangunan utama Radio Malabar ada sebuah kolam yang kini dijuluki “kolam cinta”. Barangkali alasannya adalah karena bentuknya yang mirip hati, tapi ada juga yang mengatakan kalau pacaran di kolam itu, maka hubungannya akan langgeng (!). Saya kaget juga ketika diberitahu oleh Pak Gatot Dewanto (YE1GD) bahwa bentuk kolam itu sebenarnya adalah tanda panah yang menunjuk ke negara Belanda. Saya cek menggunakan Google Earth dan tampaknya benar. Saya bilang ‘tampaknya’ karena kalau ingin persis harusnya diusahakan dilihat menggunakan peta datar, bukan globe.
    Itu sebenarnya menjawab keheranan awal saya. Orang Belanda selalu membuat bangunan dengan wawasan pada mata angin. Ketika pertama menemukan tempat ini di Google Earth saya langsung heran, kenapa bangunannya tidak searah ke mata angin manapun ? Rupanya memang bangunannya dihadapkan sesuai dengan arah lurus ke Belanda.
    Perhatikan gambar di bawah ini. Sebelah kiri adalah kolam cinta dari Google Earth yang saya tempatkan di bawah kompas. Sebelah kanan adalah gambar yang saya peroleh pada sebuah publikasi tahun 1925 (Telefunken Zeitung). Keduanya menunjuk arah barat daya.
    arahgabung
    Saya baru sadar bahwa frase Richtung Holland artinya adalah “arah ke Belanda”. Jadi betul, kolam cinta itu sebenarnya adalah tanda panah.
  2. Nama lengkap pendiri Radio Malabar adalah Dr. Cornelius Johannes de Groot. Sebuah obituari dalam penggalan sebuah dokumen dapat ditemukan di sini. Nama ini ternyata sempat membuat bingung para anggota amatir Belanda di Indonesia karena keponakannya juga memiliki nama de Groot. Sebenarnya nama lengkap keponakannya itu adalah Alexander Constant de Groot. Ia adalah orang yang merancang dan membangun BRV (Bataviasche Radio Omroep Vereniging) alias Radio Batavia dan penasihat teknis untuk Radio Bandoeng yang lebih dikenal dengan callsign-nya waktu itu, yaitu PMY (padahal nama sebenarnya adalah Bandoengsche Radio Vereeniging). Ia lahir di Bogor 6 Agustus 1896 dan setelah di kirim ke Belanda untuk mendapat pelatihan, ia dikirim lagi ke Indonesia tahun 1924 dan diberi pekerjaan di perkebunan teh Rongga di Gunung Halu, sebuah tempat 80 Km barat daya dari Bandung. Ia tidak betah dengan pekerjaannya itu karena pada dasarnya minatnya ke bidang teknik. Ia sendiri kemudian menjadi anggota amatir radio dengan callsign PK1PK, dan menjadi presiden pertama perkumpulan radio amatir di Indonesia. Ia meninggal di Hague pada 23 April 1973.
    Berikut ini gambar dari Dr. Cornelius Johannes de Groot dan Alexander Constant de Groot :
    gabung grootTampak A.C. de Groot yang ketika itu berusia 75 tahun dengan hasil rekonstruksi dari pemancar yang digunakan di BRV, yang ditampilkan pada sebuah acara reuni pada 29 Juni 1971. A.C. de Groot memanggil pamannya itu dengan panggilan Oom Appi.
  3. Pak Gatot Dewanto (YE1GD) lagi-lagi membuat kaget saya dengan mengatakan bahwa Dr. C. J. de Groot ketika itu sempat memperlakukan pembangunan Radio Malabar sebagai “proyek pribadinya”. Terus terang ini agak terdengar kontroversial buat saya, meskipun bisa terdapat alasan yang masuk akal untuk mengatakan itu. Pertama, ada kemungkinan untuk mengatakan bahwa ia menggunakan uang pribadinya ketika ia membeli pemancar Arc Poulsen di San Fransisco (1917). Kedua, setahun kemudian otoritas Belanda membeli dua pemancar Telefunken: satu dipasang di Belanda, dan satu dimaksudkan untuk dipasang di Malabar. Ketika itu dikatakan :
    When Dr. de Groot’s own Poulsen type transmitter failed during the opening ceremony on 5 May 1923, he even did not consider to communicate with Holland by means of the Telefunken transmitter, to transfer a message to Dutch Queen Wilhelmina, who desperately waited for a radio message from Dutch Indies (now Indonesia).
    Kata-kata Groot’s own Poulsen type transmitter menegaskan bahwa itu memang milik pribadinya, sehingga tidak heran ia berani tidak patuh pada otoritas di negaranya.
  4. Mengenai pemilihan lokasi Radio Malabar, masih informasi dari Pak Gatot, itu lebih karena pertimbangan kontur geografis yang memungkinkan dipasangnya antena yang ukurannya raksasa: 5 kawat sejajar yang panjangnya 2 kilometer. Kebetulan lokasinya ada diapit dua gunung, yaitu gunung Malabar dan gunung Haruman, sehingga penyangganya bisa diletakkan pada sisi kedua gunung tersebut, seperti digambarkan sebagai berikut :
    radio-malabar1
  5. Berkenaan dengan frekuensi kerja Radio Malabar pada tulisan pertama dikatakan bahwa itu adalah pada 49,2 Khz dengan panjang gelombang 6,1 Km. Sementara itu sumbernya tidak jelas, saya menemukan pada sebuah dokumen berangka tahun 1928, sebagai berikut :
    sommersetKarena sifatnya selalu dicoba, tentu frekuensi kerja diubah-ubah juga, namun sekurangnya kali ini ada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada kutipan di atas dinyatakan bahwa siaran Radio Malabar pada 17,4 meter dapat diterima di Inggris.
  6. Sebagai catatan sejarah saya membatin sebenarnya kapan pertama kali terjadi kontak antara Belanda dan Indonesia ? Pada masa itu yang disebut kontak barangkali tidak satu macam; bisa kontak telegrafi / morse) atau telefoni / audio (tunggu, tapi apakah di sini sudah benar-benar bisa dikatakan telefoni ?).
    Ketika saya search, saya menemukan bahwa 5 tahun lalu, persisnya 11 November 2007 diadakan peringatan 80 tahun hubungan gelombang pendek Belanda Indonesia, yang disponsori oleh Radio Maragitha di Bandung dan Radio Nederland Wereldomroep. Kutipan berita tentang ini di harian Suara Pembaharuan Daily dapat dilihat di sini. Saya langsung curiga ketika di situ dikatakan :
    ”Setidaknya hal itu diakui oleh Wakil Duta Besar Belanda, K Ad Koekkoek yang hadir dalam peringatan 80 tahun hubungan gelombang pendek Belanda – Indonesia atas kerja sama Radio Nederland Wereldomroep (RNW) dan Radio Maragitha, di Hotel Savoy Homann, Bandung, 11 November lalu. “Hubungan radio gelombang pendek pertama kali antara Bandung dan Hilversum terjadi pada Maret 1927,” tutur Koekkoek, dalam sambutannya pada acara bertema “Radio, Riwayatmu Dulu” itu.”
    Kalau itu antara Bandung – Hilversum, entah, mungkin bisa saja pada Maret 1927. Saya sendiri tidak tahu. Tapi apakah itu representatif untuk dikatakan sebagai hubungan gelombang pendek pertama antara Bandung – Belanda ? Sekurangnya, yang saya temukan mengatakan bahwa sebelum tahun itu sudah terjadi kontak gelombang pendek, yaitu pada 1925 :) Bisa di cek di sini. Bahkan itu dikatakan masuk ke buku World’s Record. Itu terjadi antara Radio Malabar dan Radio Kootwijk.
Barangkali upaya menulis saya ini kurang sistematis. Saya akui itu, dan memang ini tidak diniatkan untuk menulis sejarah. Saya melakukannya lebih dalam rangka bersenang-senang secara pribadi :) Saya akan tulis lagi untuk bagian ketiga karena masih ada informasi lain yang menarik. Sementara saya juga menunggu respon teman-teman untuk bagian kedua ini. Terima kasih.